Gelap dan Kerlap-kerlip

Saya sedang suka baca blog Belle Renee belakangan ini. Dari sekian banyak post, saya suka satu tulisan berjudul "Love > Grudge".

Tidak sadar saya bahwa selama ini saya menumpuk banyak sekali dendam dan kemarahan-kemarahan yang tidak sudah-sudah. Tidak semua dendam dan kemarahan itu dikarenakan hal-hal besar. Tidak sedikit juga ternyata yang dipicu karena sifat kekanak-kanakan dan sensitif diri saya sendiri terhadap sesuatu.

Beberapa teman baik memahami bahwa saya memang punya sifat aneh. Dari luar, saya kelihatan kokoh tidak mudah roboh. Tapi sedikit yang tahu bahwa saya punya sisi halus. Windry Ramadhina, salah seorang novelis yang saya gemari tulisannya, sepakat dengan keanehan saya. Suatu waktu, ia bertanya lewat instagram dari seluruh novelnya, mana yang paling saya sukai. Saya bilang, saya suka "Metropolis" dan "London". "Kok selera kamu unik sekali sih. Yang satu gelap, yang satu kerlap-kerlip", Mbak Windry membalas. Metropolis adalah satu-satunya novel Mbak Windry yang berlatar Jakarta beserta mafia-mafianya. Sedangkan London melankolis sekali, tapi lucu. Dari situ, saya betulan sadar bahwa saya punya karakter dan preferensi kontras antara satu dengan yang lain. Separuh metropolis, separuhnya lagi london. Separuh kasar, separuhnya lagi halus.

Dalam sebuah renungan, saya pikir, memang begitu lah manusia. Dengan menjadi hitam secara keseluruhan, saya akan jadi iblis. Dan dengan menjadi putih secara keseluruhan, saya akan jadi malaikat. Tapi saya tidak mau punya separuh hitam dan separuh putih. Saya pingin punya putih yang lebih banyak daripada hitam untuk kedamaian di dalam diri saya sendiri.

Saya ingin jadi putih dan halus tanpa menyakiti diri saya sendiri dan orang lain. Selama ini, sisi halus saya itu sering menggoncang diri saya sendiri. Memorak-morandakan stabilitas emosi yang saya jaga betul agar tidak naik dan turun tanpa saya ingini dan ketahui. Ayu Utami, penulis kesukaan saya yang lain, menulis dalam "Simple Miracle" bahwa ada dua makna "halus" yang bertentangan. Yang pertama, halus dalam artian peka sehingga mudah tersakiti. Sehingga seringkali membawa dendam dan kemarahan. Sedangkan makna halus yang kedua adalah peka dalam empati. Perasaan itu akan mengarah pada kasih sayang, keterbukaan, dan pemaafan. Dalam konteks tersebut, sisi halus saya mengacu pada dua definisi yang bertentangan tersebut. Suatu kala, perasaan halus itu menuntun saya pada empati, cinta kasih, keterbukaan, dan (kadang kala) pemaafan. Tetapi, di kala lain, perasaan halus itu membawa amarah dan dendam yang mengeruhkan batin saya sendiri.

Dalam "Love > Grudge", Renee mengajak dirinya untuk lebih banyak mencintai, melupakan dan memaafkan, daripada memupuk kemarahan dan dendam yang secara tidak ia sadari memberatkan hatinya sendiri. Sejak terakhir kali saya baca postingan itu, tidak seharipun saya tidak merenungkan kemarahan dan dendam yang bertahun-tahun saya biarkan mengendap dan tidak saya bersihkan. Saya tidak ingin lagi memendam lalu jadi pendendam. Karena saya tidak dapat apa-apa dari dendam selain lelah. Saya hendak mengutarakan apapun yang menyakitkan agar tidak menjadi pendendam.

Comments

Popular Posts