Stereotip

Kamus Besar Bahasa Indonesia bilang, stereotip merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat.

Dulu sekali, empat tahun yang lalu, di mataku dunia hanya terdiri dari hitam dan putih, salah dan benar, laki-laki dan perempuan. Pola pikir dangkal dan naif tersebut kupikir memang sesuatu yang benar, dulunya. Sampai akhirnya aku menyadari kalau kedangkalan dan kenaifan itu tidak memberiku keuntungan apapun pada saat aku bebas dari sekolah menengah atas dan lanjut kuliah. Empat tahun menjadi seorang mahasiswa Hubungan Internasional, tanpa ada maksud mengeneralisasi bahwa semua mahasiswa HI akan mengalami hal yang persis sama sepertiku, aku menyadari bahwa dunia tidak semudah dan sesederhana itu untuk dijelaskan. HI seakan memberiku bermacam-macam model 'kacamata' dan 'sel-sel otak' baru untuk memahami alasan-alasan dibalik adanya aksi. Alih-alih memberikan penilaian benar salahnya aksi tersebut. Namun ngga bisa dipungkiri, kalaupun selama belajar, secara sadar atau tidak, ada hal-hal, konsep, presepsi, opini-opini subjektif, dan lain-lain yang tertanam di kepala. Meskipun disatu sisi aku punya macam-macam 'kacamata' dan 'sel otak baru' yang harus dipakai dimanapun dan kapanpun, yang tidak membenarkan tindakanku kalau aku kemakan persepsi, opini, konsep yang sifatnya subjektif atau opini begitu saja.

Sampai suatu ketika, ada momen dimana opini, presepsi, dan stereotip itu bertemu 'kacamata'.

Beberapa minggu lalu, sembilan orang mahasiswa asing dari berbagai negara datang ke kampus, meramaikan acara tahunan yang dihelat International Office, Universitas Jember: Universitas Jember International Cultural Camp (UJICC). Kesembilan orang itu adalah Anna (mahasiswa master degree dari Jerman), Dimitri (mahasiswa kelahiran Russia yang pindah dan sekolah di Jerman), Alex (mahasiswa asal Latvia yang sekolah di Glasglow, Skotlandia), Saipyoe (mahasiswa asal Myanmar), Ling (juga datang dari Myanmar), Ammon (mahasiswa kelahiran Sydney yang pindah dan sekolah di Filipina), David dan George (juga datang dari Filipina).

Selama program, kayaknya aku paling sering main dan ngobrol dengan Anna. During that time, apa-apa yang secara sadar atau engga sudah kuserap selama belajar di kampus itu ternyata sudah menempel di otak. Yakni, stereotip orang Eropa adalah mereka cenderung individualis, they appreciate their own private life and others, serta brutally honest. Agak-agak sulit buatku untuk bisa nyambung dengan Anna yang basically orang Eropa Barat banget, dan aku Asia banget (wakakakak).

Anna and I were wearing our country traditional costume
Ada satu titik dimana aku merasa stereotip subjektif tentang orang Eropa itu lumayan banyak benarnya. Di titik tersebut, kacamata yang aku dapat dari belajar HI itu untungnya kubawa. I tried to be on their shoes dan tidak memperlakukan mereka seperti aku memperlakukan teman-teman Asiaku yang biasa. Aku jadi suka bahas-bahas cuaca, semacam live like a Berliner gitu, "We get so much sun today", "Today's weather isn't that good for going around". Just because I know that I shouldn't talk about my or their private stuff. Bahkan untuk tanya nomer ponsel mereka aja, aku ngga berani. Agak-agak tahu diri kalau kami tidak seberteman itu. Beda kan, dengan orang Asia khususnya orang Indonesia yang biasa basa-basi menjurus kepo, bahkan nekad aja tanya nomor ponsel orang yang baru ditemui atau dikenal.

Selama main dan ngobrol dengan Anna, she is authentically a German people. Jerman baaaaanget. At least, bagiku. Brutally honest dan menghargai privasi diri sendiri juga orang lain. Di hari pertama atau kedua kami bareng, lumayan berjengit sewaktu aku tanya pendapatnya, dan dengan tanpa perasaan ngga enak atau sungkan she said, "Nein, ich mag es nicht (Ngga, aku ngga bersedia/ngga suka", easily. I was freezing, didn't know what to do, cuma "Oh wow, okay then". Di kala lain, salah seorang dosen yang juga assissting mereka bersembilan menerima brutally honest-nya Anna. Sayangnya, beliau tidak bawa 'kacamata yang kubawa kemana-mana itu'. Jadi, secara jelas, beliau rupanya agak tersinggung. Tapi diam-diam, I told him soundly, kalau Anna memang begitu... kalau orang Jerman atau Eropa normalnya memang begitu.

Lama kelamaan, Anna jadi suka ngobrol tentang hidup sehari-harinya di Flensburg, Jerman. During our break, atau kalau kita sedang duduk berdua di bus, Anna suka kasih lihat foto-foto yang diambil diponselnya. Ada satu foto dimana dia dan saudaranya lagi main air di sungai di Hamburg (kalau ngga salah ingat), pakai hotpants dan tanktop (ceritanya lagi chilling gitu), tapi waktu foto itu popped up dia ber-"ups!" sambil nyengir seakan foto itu tidak seharusnya dia kasih tahu ke aku. Dia bilang, "Di Jerman aku biasa pakai baju-baju kayak gitu. Pendek-pendek dan tipis apalagi kalau lagi musim panas". Aku bilang, "I can see that" sambil nunjuk fotonya. Lalu dia ketawa-tawa.

Selama di Indonesia, Anna hampir ngga pernah pakai celana pendek atau atasan pendek. Dia selalu pakai atasan lengan panjang dan celana panjang juga. Agaknya sih, sebelum datang ke Indonesia, dia browsing atau dapat training di kampusnya tentang budaya orang Timur apalagi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. She tried to fit in. Wah, disitu tuh, aku merasa ternyata ngga cuma aku yang tried to live like a slightly Berliner maaaaan (hahahah), tapi dia juga coba untuk fleksibel dan adaptasi.

Dia ber-"ups!" lagi sewaktu foto suaminya dan fotonya sedang ngebir di pinggir dermaga Flensburg muncul di layar ponselnya. Tapi kutanggapi, "You two look like in peace, have a date and drink a beer on the quayside on Saturday noon". Anna yang rambutnya super pirang dan badannya sebagus model Asian Next Top Model itu cuma ngedik bahu sambil heran. Lalu dia bilang, "You are cool with it? Kukira kamu bakal mandang aku 'aneh' karena ngebir begini". Tentu dia bilang begitu karena dia tahu aku muslim yang dilarang minum alkohol. Bukan salahnya sih, kalau imej islam seakan kaku dan tidak toleran. Dan itu tujuan diadakannya pertukaran budaya ini; meluruskan apa-apa yang tidak sebenarnya. Kalau islam itu bukan agama yang benci perbedaan. Kami memang tidak dianjurkan makan daging babi, tapi bukan berarti kami jijik dengan orang yang makan babi. Sama seperti ketika muslim berpuasa, tapi bukan berarti alasan itu bisa dijadikan alasan untuk nutup warung-warung tegal yang jualan sewaktu Ramadhan.

Momen itu menyadarkan aku kalau ternyata ngga cuma aku yang punya stereotip tertentu tentang sesuatu. Tetapi orang lain, pun juga. Bukan salahnya kalau steoreotip islam atau muslim dipandang demikian oleh orang-orang non-muslim di luar negeri khususnya orang-orang Barat, mengingat ngga sedikit pemberitaan media tentang orang-orang ignorant yang mengatasnamakan ketotolan aksinya adalah ajaran atau bagian dari islam. Tapi salahku, kalau aku membiarkan orang disekitarku menelan stereotip buruk itu tanpa ada upayaku untuk meluruskan.

Comments

Popular Posts