RESENSI: Si Parasit Lajang Karya Ayu Utami



Judul Buku: Si Parasit Lajang
Penulis: Ayu Utami
Cetakan Keempat: Juli 2015
Desain Sampul: Pat Adele (dari sketsa Ayu Utami)
Gambar Isi: Sketsa dan Catatan Harian Ayu Utami
Tataletak Isi: Wendie Artswenda
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN: 978-979-91-0538-7

Buku ini berisi cercahan pikiran seorang perempuan muda urban. Di akhir usia duapuluhan ia memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut diri Si Parasit Lajang (istilah yang awalnya dilontarkan feminis Jepang). Ia terkesan sangat cuek, tapi di pihak lain, ia sangat mengamati dan memperhatikan keadaan dan sekelilingnya.

Tulisannya menunjukkan bahwa orang juga bisa bersikap kritis bahkan sambil tetap berada dalam lingkup kehidupan kapitalistis. Orang bisa menyukai Barbie, film porno, fesyen, mal sambil tetap bisa bilang bahwa semua itu bisa menerkam manusia dan kita harus cerdik-cerdik bergumul dengannya, seperti pawang bermain dengan harimau sirkus.

Pesan dalam buku ini: di zaman ini, larangan tidak memadai lagi untuk bekal manusia berhadapan dengan tantangan. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan.


Buku ini saya baca beberapa bulan yang lalu. Tapi masih berbekas sampai saat ini. Sebagus apakah buku tersebut sampai punya efek mendalam buat saya? Jadi, di dalam buku ini, ada banyak cerita pendek yang sebetulnya adalah pengalaman sehari-hari yang berkesan bagi Ayu Utami itu sendiri. Yang saya suka, dan menjadi khas buku-buku Ayu Utami adalah.... dalam cerita-cerita itu Ayu Utami akan mengaitkan cerita sepele dengan teori atau konsep yang berkaitan dengan hal-hal berbau feminisme, kemanusiaan, politik, cinta, atau renungan-renungan penuh intelektualitas Ayu Utami itu sendiri.

Saya terhitung sebagai pembaca dan penggemar baru Ayu Utami. Si Parasit Lajang adalah buku kedua Ayu Utami yang saya baca setelah Simple Miracle (yang justru belum saya tuntaskan hingga kini). Mengapa? Subjektif saja sih, saya lebih suka konten Parasit Lajang. Omong-omong, si Parasit Lajang adalah buku trilogi. Si Parasit Lajang adalah seri pertama, Cerita Cinta Enrico yang kedua, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang yang terakhir. Tapi saya belum baca dua lainnya. Maklum, saya baru saja kenal Ayu Utami.

Omong-omong, sejujurnya saya sedikit terkejut dengan gaya menulis Ayu Utami yang...... berbeda dengan penulis Indonesia kebanyakan. Ayu Utami punya gaya bahasa yang betul-betul jujur cenderung brutal, liberalis kental, modern, berbau feniminisme, sekuler, namun menurut saya rasional.

Gaya penulisan yang begitu itu, mungkin ganjil buat sebagian orang. Seganjil atau setidakfamiliar apapun, buku ini masih akan saya rekomendasikan bagi siapapun yang mau melihat hal-hal biasa dengan pola pikir atau perspektif berbeda. Pemikiran terbuka dibutuhkan ketika membaca buku-buku Ayu Utami. Tidak bohong saya, hehe.

Kalau menurut saya, percuma saja membaca tulisan Ayu Utami (khususnya Si Parasit Lajang ini) dengan pemikiran tertutup cenderung konservatif. Mengapa? Karena bakal sulit memahami konten yang Ayu Utami coba sampaikan kepada pembaca.

Berbicara tentang konten, konten tulisan Ayu Utami rasa-rasanya baru dan berbeda. Entah saya yang udik karena tidak tahu ada penulis lain dengan konten serupa, atau memang cuma Ayu Utami yang punya konten begini dalam tulisan-tulisannya. Apa maksud begini itu? Seperti yang sudah saya bilang di atas, sederhananya, konten yang Ayu Utami tulis adalah gagasan dan renungan Ayu Utami pribadi terhadap apapun; dia sebagai makhluk hidup, anak dari seorang ibu yang tidak suka hal-hal rumit, kekasih yang tidak mau menikahi dan dinikahi, dan teman dari sekumpulan laki-laki konyol tapi pintar.

Ada satu renungan yang bisa kalian temukan di bagian Prolog yang berbunyi;
"Lahir dan mati adalah proses biologis, sementara menikah adalah konstruksi sosial. Lahir dan mati adalah peristiwa alam, menikah adalah peristiwa budaya."
Kalau memakai "pola pikir yang biasa dipakai beberapa masyarakat Indonesia (yang konservatif cenderung tertutup), ketika menemukan kalimat seperti di atas, saya yakin akan ada beberapa di antara kita yang bakal menaikkan alis dan mengerutkan kening. Bukan heran karena betulan heran. Tapi heran agak sewot.

Adakah yang salah dengan kutipan tersebut?

Buat saya sih tidak. Terlepas dari perihal agama. Menikah itu kan sebetulnya pilihan. Kalau menikah, ya syukur. Karena buat sebagian orang, berkeluarga itu baik. Tapi, buat sebagian lainnya yang menganggap berkeluarga itu tidak cocok dengan mereka, tidak menikah bukan perkara.

Masalahnya, tidak semua orang akan setuju dengan pemikiran yang begitu itu. Apalagi berada di lingkungan masyarakat Indonesia yang sebagian masyarakatnya menganggap bahwa menikah itu sebuah keharusan.

Berapa banyakkah dari kita yang menyadari bahwa menikah itu sesungguhnya adalah budaya dan konstruksi sosial? Secara sadar atau tidak, selama ini kita telah dikonstruk oleh keluarga, teman, dan orang-orang di sekitar bahwa menikah itu harus, tidak menikah itu aneh.

Diejek-ejek lah yang belum menikah di usia-usia matang buat menikah. Yang menentukan usia matang dan tidaknya pun masyarakat kita sendiri. Konyol juga kalau saya pikir-pikir, hehe.

Kalau bukan karena buku ini, pemikiran bahwa "menikah itu konstruksi sosial, tidak menikah bukan perkara" hanya akan menjadi perihal laten di benak saya.

Ada satu renungan lain yang menarik perhatian saya. Tentang pembedaan rok antara siswi muslim dan non-muslim di sekolah-sekolah negeri. Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami. Rok panjang disarankan buat siswi muslim, lalu yang non-muslim boleh pakai rok yang tidak panjang. Menurut Ayu Utami, pembedaan itu ganjil dan aneh sekali.
"Seragam kan artinya seragam. Tapi sekarang ada seragam yang membedakan orang dari agamanya."
Jadi tidak sulit mengetahui agama anak-anak sekolah negeri sekarang ini. Kalau dia pakai rok panjang, berarti dia muslim, atau bisa jadi juga bukan. Kalau dia pakai rok pendek, jelas dia non-muslim. Lalu bagaimana dengan yang suka pakai rok yang panjangnya menggantung? Tidak panjang tapi juga tidak pendek? Agama apa dia. Seragam jadi kehilangan esensi karena justru membeda-bedakan.

Renungan-renungan sederhana tapi penuh dengan satir akan kalian jumpai dalam buku ini. Seperti cerita pendek di atas itu.

Cercahan pikiran yang manis-manis pun ada di buku ini. Seperti satu yang bertajuk Katakan dengan Plastik. Dalam bab itu, Ayu Utami menuliskan pengalamannya ketika masih muda dan punya pemuja. Si Pemuja kirim bunga ke rumah pakai jasa kurir, kebetulan yang terima buket bunga itu Ibu Ayu Utami. Sang Ibu mengeluh, kenapa sih cowok-cowok itu tidak kasih kembang plastik saja, daripada kirim kembang asli yang harganya tidak hemat tapi cuma tahan tiga hari.

Betul kan sebetulnya kata Sang Ibu. Mending kasih kembang plastik tapi tahan seratus tahun daripada kembang sungguhan tapi bakal jadi jelek dan layu dalam tiga hari. Praktis. Hemat. Efisien.

Tapi Ayu Utami mengelak, tidak setuju. Kayaknya kok tidak pantas kalau cinta dilambangkan dengan kembang plastik. Dan memang sepertinya lumayan benar begitu:
"Seperti bunga, jika ia tak lekang, berarti ia imitasi. Jika ia asli, maka ia cuma tahan tiga hari."
Tapi seadainya saya jadi si cowok pun, untuk urusan begini saya akan pilih yang tidak praktis,tidak hemat, dan tidak efisien. Meskipun cuma tahan tiga hari, tapi cantik kembangnya betulan asli.

Masih banyak hal-hal sederhana lain yang menarik untuk dibaca dan direnungkan di buku ini. Menurut saya, buku ini jadi bacaan wajib buat siapa saja yang suka belajar ilmu kultur kontemporer yang akrab di kehidupan sehari-hari, atau buat yang ingin dapat penghiburan saja.

Selamat membaca!

Comments

Popular Posts